Temanku, Dhiki Sudah Sembuh

Subhanallah . Mungkin itu kata pertama yang seharusnya aku ucapkan. Terkejut saat aku melihat temanku, Dhiki Supodo , yang beberapa minggu lalu terbaring lemas tanpa daya di RS Sarjito, terlihat segar dan bersemangat saat menyambutku di rumahnya (Minggu, 29 Juni 2008). Perlahan, dia mulai mendekatiku dan duduk di ruang tamu. Sebenarnya kedatanganku itu cukup mengganggu karena terlihat saat aku disapa oleh ayahnya, dhiki sedang menikmati sebuah acara di TV. Aku perhatikan, hanya perban di ubun-ubun dan leher yang masih menempel. Selebihnya, Dhiki terlihat layaknya manusia lain. Tidak terlihat seperti baru operasi “menakutkan” maksudku. Antara hidup dan mati. Anda yang menjenguknya saat itu pasti akan berpikiran sama denganku.

Terus terang, melihat apa yang aku lihat di RS Sarjito “kemarin”, sempat aku berpikir dan bertanya dalam hati, “Apakah Dhiki akan kembali normal? Apakah Dhiki masih bisa mengingatku? ” . Dengan tengkorak kepala yang dicopot akibat pendarahan hebat, membuatku berpikir macam-macam saat itu. Namun semua pikiranku itu tertangkis oleh semua kenyataan yang aku lihat dan perbincangan yang kami lewatkan sore itu di rumahnya. Bersama Candra Tri Agung Pambudi, anak 3B SMP 1 Kebumen dulu, yang kebetulan sekelas dengan Dhiki, kami melewatkan obrolan yang cukup menarik, walaupun hanya berdurasi kurang dari 2 jam. Ayah Dhiki pun tidak mau kalah dalam obrolan kami ternyata. “Banyak bicara juga ayah dhiki ini” , pikirku.:p

Sesekali Dhiki masih kesulitan dalam mengucapkan kata-kata. Terlihat jelas bahwa banyak sekali kalimat-kalimat yang ingin dia sampaikan padaku. Urat kepalanya menonjol saat mengucapkan kata demi kata. Ternyata masih ada sesuatu dalam tenggorokannya yang menghalanginya untuk berbicara dengan leluasa. Saat pertama melihatku, aku yakin kalimat pertama yang ingin dia ucapkan adalah, “Hei pin, apa kabar? Tambah gantheng baen sih kowe?”. Namun dia tidak mampu mengatakannya. Matanya pun sudah dapat menatapku dengan tajam. Seringkali dia melemaskan jari-jari tangannya sambil menjawab pertanyaan-pertanya an ringan yang aku lontarkan. Dan lagi, dia hanya bisa mengucapkan sedikit kata.

Selepas shalat maghrib di mushola dekat rumahnya, aku dan Candra berniat pamit pulang, tetapi ayah dhiki mulai bercerita banyak. Aku tidak tega menghalangi hasratnya untuk bercerita. Akhirnya kuurungkan niatku tadi dan kembali menikmati “cemilan” di depanku sembari mendengarkan cerita ayah dhiki tersebut. Aku tersentak dan berhenti makan saat ayah dhiki menaikkan intonasinya dan terlihat berapi-api menjelaskan perjalanan dan bagaimana dhiki bisa dioperasi. Dari situ aku tahu bahwa ayah dhiki berjuang sangat hebat sebelum dhiki sampai tiba di ruang operasi. Anda mungkin akan tersentak saat mendengar bahwa “potongan” kecil tengkorak dhiki dibawa hanya dengan plastik biasa dari “bank organ” menuju ruang operasi. Betapa tidak. Setahuku organ tubuh manusia hanya dapat bertahan pada suhu tertentu. Aku pikir tengkorak dhiki tadi dibawa dengan menggunakan semacam “safetybox” yang biasa digunakan petugas PMI dalam membawa darah. “Hebat juga tengkorak dhiki ini” , pikirku. Selain itu, ayah Dhiki pun harus mengalami perdebatan hebat dengan petugas yang mengurusi jadwal operasi Dhiki. Caci maki beliau dapatkan dari petugas tersebut. Untung ayah Dhiki ini seseorang yang sangat sabar. Dan akhirnya operasi pun dapat segera dilaksanakan.

Anda pasti akan lebih tercengang lagi saat tahu bahwa selama di rumah, dhiki tidak menghabiskan waktunya hanya dengan makan, tidur, olahraga dan buang air besar. Ternyata Dhiki selama ini tengah mempersiapkan dirinya untuk ujian akhir, karena dia masih diberi waktu oleh pihak fakultas teknik UGM sampai bulan September 2008. Dia masih memiliki waktu sekitar 2 bulan untuk belajar mempersiapkan ujian akhirnya di semester ini. Tercengang aku saat melihat “primbon” machine engineering -nya yang terletak di meja ruang tamu. Aku tersentuh saat melihat semangat belajarnya yang begitu tinggi. Malu aku dibuatnya.

Aku kembali melontarkan pertanyaan terakhir untuk Dhiki, “Dhik, reuni lebaran ngesuk sida nanggonmu mbok?. Masih dengan tema yang sama kan : HIDUP NIKAH!?” . Jawaban penuh semangat keluar dari mulutnya, “Iya, nang kene baen. Aku seneng banget!!”. Aku yakin, ruang tamu dengan lebar kurang lebih 9 x 7 meter cukup untuk menampung 40 orang, bahkan lebih. Apalagi kalau meja dan sepeda motornya dikeluarkan, akan terlihat sangat luas. Ruang tengahnya pun cukup lebar. Bukan perjalanan panjang juga menurutku menuju rumahnya. Hanya butuh kurang lebih 15 menit dari rumah Damar Kuntoro yang terletak dekat perempatan lampu merah. Mungkin juga hanya 10 menit kalau ngebut. Hanya beberapa menit dari Bumi perkemahan “Widoro Payung”. Yah dhik, insyaAllah. Semoga aku dapat membantumu menyiapkan segala sesuatunya besok. Itupun kalau aku tidak malu untuk datang karena mungkin hanya aku yang belum lulus.

Menjelang isya aku dan Candra pamit pulang. Melihat antusiasme ayah dhiki bercerita, aku kembali berpikir bahwa mungkin teman bicaralah yang ia perlukan saat ini. Bukan uang atau yang lain. Terlihat jelas di wajahnya perasaan lega yang dalam setelah menyelesaikan ceritanya. Dia juga sangat bersyukur karena nyawa Dhiki selamat dan lebih dari itu, ternyata Dhiki memiliki teman-teman yang banyak sekaligus menyayanginya. Itu juga yang mungkin membuat Dhiki ingin segera kembali kuliah di kampusnya. Menemui teman-temannya. Dan kembali berprestasi.

Footer: dokumentasikanlah hidup Anda selalu.

Facebook Comments:

One thought on “Temanku, Dhiki Sudah Sembuh

  1. keke…smua yang kamu hadapai ini smga mnjadi ibrah dr keikhlasan menrima cobaan yang tak smua org kuat untk mnjalaninya…

    “admin:
    amiin, semoga senantiasa menjadi pembelajaran bagi kita semua.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *