Sejak dulu sebenarnya aku ingin membuat surat keluhan terhadap suatu instansi baik milik pemerintah atau swasta yang aku rasa sangat tidak melayani dengan baik dan terkesan tidak solutif. Tentu saja dengan harapan bahwa ke depannya akan menjadi lebih baik lagi. Namun karena ketidaktahuanku tentang cara membuat surat keluhan semacam itu, berkali-kali aku urungkan niatku untuk membuat surat keluhan yang aku pikir akan bersifat membangun nantinya.
Namun, baru saja aku menemukan tulisan yang cukup baik, yang aku rasa bisa dijadikan rujukan sebagai format penulisan surat keluhan yang sifatnya resmi. Aku pampang di sini karena agar ke depannya aku bisa langsung membukanya kembali jika aku kehilangan kerangka remi dari sebuah surat keluhan yang baik dan bersifat membangun. Ada salah seorang warga negara di negeriku ini yang ternyata bisa dengan tegas dan bijak mengeluarkan uneg-uneg dan keluhannya ke sebuah instansi pemerintah. Tidak main-main karena instansi ini adalah Patroli dan Pengawalan (Patwal) iring-iringan Presiden. Aku merasa, negeri ini ke depannya akan menjadi lebih baik jika setiap warga negaranya bisa langsung mengkritisi sikap atau kebijakan pemerintah seperti ini, dengan cara yang santun dan bijak tentu saja.
Silakan jika Anda ingin membaca surat keluhan tersebut. Surat pembaca yang ditulis oleh Hendra NS, warga Cibubur di koran Kompas, Jumat (16/7/2010) menggegerkan Istana. Hendra mengeluh lantaran iring-iringan rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setiap hari dari Cikeas menuju Istana, membuat jalan tol macet. Bahkan, Hendra menjadi korban makian Pasukan Pengamanan Presiden (Paspamres).
Berikut isi surat Hendra NS :
Redaksi Yth
Trauma oleh Patwal Presiden
Sebagai tetangga dekat Pak SBY, hampir saban hari saya menyaksikan arogansi Patroli dan Pengawalan (Patwal) iring-iringan Presiden di jalur Cikeas-Cibubur sampai Tol Jagorawi. Karena itu, saya-juga mayoritas pengguna jalan itu-memilih menghindar dan menjauh bila terdengar sirene Patwal.
Namun, kejadian Jumat (9/7) sekitar pukul 13.00 di Pintu Tol Cililitan (antara Tol Jagorawi dan tol dalam kota) sungguh menyisakan pengalaman traumatik, khususnya bagi anak perempuan saya.
Setelah membayar tarif tol dalam kota, terdengar sirene dan hardikan petugas lewat mikrofon untuk segera menyingkir. Saya pun sadar, Pak SBY atau keluarganya akan lewat. Saya dan pengguna jalan lain memperlambat kendaraan, mencari posisi berhenti paling aman. Tiba-tiba muncul belasan mobil Patwal membuat barisan penutup semua jalur, kira-kira 100 meter setelah Pintu Tol Cililitan. Mobil kami paling depan. Mobil Patwal yang tepat di depan saya dengan isyarat tangan memerintahkan untuk bergerak ke kiri. Secara perlahan, saya membelokkan setir ke kiri.
Namun, muncul perintah lain lewat pelantam suara untuk menepi ke kanan dengan menyebut merek dan tipe mobil saya secara jelas. Saat saya ke kanan, Patwal di depan murka bilang ke kiri. Saya ke kiri, suara dari pelantam membentak ke kanan. Bingung dan panik, sayapun diam menunggu perintah mana yang saya laksanakan.
Patwal di depan turun dan menghajar kap mesin mobil saya dan memukul spion kanan sampai terlipat. Dari mulutnya terdengar ancaman, “Apa mau Anda saya bedil?” Setelah menepi di sisi paling kiri, polisi itu menghampiri saya. Makian dan umpatan meluncur tanpa memberi saya kesempatan bicara. Melihat putri saya ketakutan, saya akhirnya mendebatnya.
Saya jelaskan situasi tadi. Amarahya tak mereda, malah terucap alasan konyol tak masuk akal seperti “dari mana sumber suara speaker itu?”, atau “mestinya kamu ikuti saya saja”, atau “tangan saya sudah mau patah gara-gara memberi tanda ke kiri”. Permintaan saya dipertemukan dengan oknum pemberi perintah dari pelantam tak digubris. Intimidasi hampir 10 menit yang berlangsung tepat di depan Kantor Jasa Marga itu tak mengetuk hati satu pun dari anggota Patwal lain yang menyaksikan kejadian itu. Paling tidak, menunjukkan diri sebagai pelayan pelindung masyarakat. Karena dialog tak kondusif, saya buka identitas saya sebagai wartawan untuk mencegah oknum melakukan tindak kekerasan. Ia malah melecehkan profesi wartawan dan tak mengakui perbuatannya merusak mobil saya. Identitasnya tertutup rompi. Oknum ini malah mengeluarkan ocehan, “Kami ini tiap hari kepanasan dengan gaji kecil. Emangnya saya mau kerjaan ini?”
Saat rombongan SBY lewat, ia segera berlari menuju mobil PJR-nya, mengikuti belasan temannya meninggalkan saya dan putri saya yang terbengong-bengong.
Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana Negara sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga.
HENDRA NS
Cibubur
from :
tribunnews.com
Aku berharap ke depannya, aku dan Anda bisa jauh lebih kritis terhadap kesemena-menaan suatu instansi pemerintah atau swasta yang ada di negeri kita ini, sekali lagi, tentu saja dengan cara yang santun dan bijak. Terkadang instansi tersebut memang bisa saja berbuat khilaf dan kewajiban kita sebagai warga negara yang baik untuk memperingatkannya. Kalau lewat “jalur” musyawarah atau kekeluargaan tidak bisa diperolah kesepakatan, maka dengan menggunakan surat keluhan semacam ini tidak ada salahnya untuk dicoba dan dipraktikkan.
Mari kita senantiasa saling mengingatkan di negeri yang kita cintai ini, apa saja. Nuwun.
Saya senang sob membaca urain tentang surat keluhan yang baik. Sebagai rakyat kita memang hampir selalu jadi korban kekuasaan. Para penguasa terkadang lupa pada faktor yang menyebabkan mereka bisa jadi penguasa. Bukankah bila tak ada rakyat yang mendukung, mereka tak akan mungkin jadi penguasa? Terus arogansi pasukan pengawal harusnya tak terjadi. Karena mereka dibayar oleh rakyat untuk memperjuangkan rakyat, bukan untuk menambah beban atau tekanan batin di hati rakyat. Salam kenal sob, sukses selalu ya.
“admin:
haduh, aku bingung mau komen apa…makasih ya mas, sukses selalu untukmu juga ya.